Ketika Kepala Sekolah Hadir sebagai Teman Belajar

Ketika Kepala Sekolah Hadir sebagai Teman Belajar

Hena Fitriningsih,S.P.,S.Pd.,M.Si, Kepala SMP Negeri 4 Kedungbanteng, Banyumas

Di tengah hamparan perbukitan, jalan sempit dan berkelok tajam, pohon-pohon yang menjulang tinggi dan hamparan sawah hijau khas Banyumas, tedapat sebuah sekolah negeri yang sederhana namun penuh harapan: SMP Negeri 4 Kedungbanteng. Dengan hanya 17 orang tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk kepala sekolah, institusi ini menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Jumlah yang terbatas ini menuntut efisiensi luar biasa dalam pengelolaan sumber daya manusia. Namun, alih-alih menjadi kekuatan kolektif, kenyataannya sebagian besar guru dan tenaga kependidikan masih terjebak dalam zona nyaman. Kreativitas belum tumbuh subur, pengembangan diri stagnan, dan belum semua guru dan tenaga kependidikan (GTK) ikut aktif menggerakkan roda operasional sekolah. Variasi tugas pun nyaris tidak ada, menyebabkan kekurangharmonisan dalam etos kerja dan rutinitas monoton yang menyelimuti lingkungan kerja.

Kondisi ini menjadi cermin betapa pentingnya kepemimpinan yang tidak hanya mengatur, tetapi juga menginspirasi. Di sinilah penulis, kepala sekolah yang baru menjabat hampir dua tahun, memutuskan untuk tidak tinggal diam. Penulis hadir bukan sekadar mengisi kursi kepala sekolah, melainkan membawa visi perubahan yang berakar pada kolaborasi, pembelajaran, dan transformasi budaya kerja. Artikel ini mencoba menelusuri strategi nyata yang diterapkan penulis dalam mengubah pola pikir serta meningkatkan kompetensi GTK di SMP Negeri 4 Kedungbanteng. Lewat pendekatan kolaboratif dan kepemimpinan transformasional, penulis menyalakan kembali semangat belajar dan berkarya yang sempat redup.

Mutu pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Sehebat apapun kurikulum atau fasilitas, tanpa guru yang kompeten dan terus mengembangkan dirinya, pembelajaran akan kehilangan jiwa. Guru adalah aktor utama dalam menciptakan pengalaman belajar yang bermakna. Oleh karena itu, pengembangan diri bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak dalam dunia pendidikan yang terus berubah. Semangat belajar sepanjang hayat harus tumbuh dari dalam diri pendidik itu sendiri.

Ketika guru terlalu lama berada di zona nyaman, produktivitas menurun. Inovasi pendidikan berhenti, dan yang lebih parah, beban kerja menjadi tidak merata. Hanya segelintir guru yang aktif, sementara yang lain cenderung pasif, merasa cukup dengan rutinitas yang telah mereka jalani bertahun-tahun. Kurangnya kolaborasi membuat ide-ide segar mandek, dan upaya peningkatan mutu menjadi tanggung jawab individu, bukan tim.

Kondisi internal di SMP Negeri 4 Kedungbanteng memperlihatkan potret tantangan nyata. Dengan hanya 17 orang GTK, distribusi kerja menjadi tidak seimbang. Banyak guru merangkap tugas, sementara deskripsi pekerjaan yang ada terkesan kaku dan kurang fleksibel. Hal ini berujung pada stagnasi, di mana tidak ada dorongan untuk mencoba hal baru. Budaya kerja yang konvensional masih kuat mencengkeram, menyulitkan proses perubahan. Tidak sedikit guru yang enggan berubah, merasa nyaman dengan metode lama yang mereka gunakan bertahun-tahun. Inisiatif untuk berkembang sangat minim, dan waktu istirahat atau sela pembelajaran kurang dimanfaatkan secara produktif.

Namun, di balik keterbatasan tersebut, lahirlah serangkaian strategi efektif yang digagas oleh penulis. Salah satu langkah awal yang ia lakukan adalah memanfaatkan waktu sela untuk kolaborasi bermakna. Setiap hari setelah istirahat siang, penulis menetapkan jadwal rutin di mana guru dapat berkumpul untuk berbagi pengetahuan. Kegiatan ini meliputi sharing materi pembelajaran, simulasi metode pembelajaran aktif, serta diskusi tentang teknik asesmen. Dengan suasana santai namun terarah, kegiatan ini perlahan diharapkan dapat membentuk ruang belajar bersama yang tidak menggurui, melainkan menguatkan.

Selain itu, penulis mengaktifkan Komunitas Belajar (KOMBEL) satuan pendidikan. Penulis menjadikan KOMBEL bukan sekadar forum formalitas, melainkan wadah yang hidup untuk berbagi praktik baik, merancang program peningkatan mutu, dan menumbuhkan budaya belajar di kalangan GTK. Dalam forum ini, semua pendapat dihargai dan setiap ide dipertimbangkan. Kolaborasi menjadi semangat utama, mendorong guru untuk merasa memiliki terhadap setiap perubahan yang terjadi.

Sebagai kepala sekolah, penulis tidak hanya memberi arahan dari balik meja. Penulis turun langsung ke lapangan, memfasilitasi kegiatan KOMBEL, menjadi narasumber dalam sesi berbagi praktik baik, bahkan sering memulai diskusi dengan pengalaman pribadinya. Penulis percaya bahwa apresiasi atas perubahan kecil adalah pupuk terbaik untuk menumbuhkan motivasi. Dengan keteladanan sederhana seperti menjadi yang pertama datang dalam forum belajar, atau memberi ucapan selamat atas keberhasilan kecil guru, penulis membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan secara konsisten.

Hasilnya mulai terlihat. Budaya kolaborasi perlahan terbentuk. GTK mulai terbiasa berdiskusi dan berbagi di waktu-waktu tertentu. Ada kebiasaan baru yang tumbuh, seperti saling memberikan masukan atas modul ajar atau merefkelsi suatu kegiatan sampai dengan melakukan tindak lanjut. Dari forum KOMBEL, lahir berbagai program pengembangan, misalnya pelatihan peer teaching antarguru, hingga proyek pembuatan modul pembelajaran tematik yang dilakukan secara berkelompok. Mindset guru pun mulai bergeser. Beberapa dari mereka kini berani mencoba metode pembelajaran baru, mengembangkan pembelajaran berdiferensiasi, bahkan ada yang secara mandiri mendaftar pelatihan eksternal.

Transformasi ini tentu tidak terjadi dalam semalam. Namun, langkah kecil yang dilakukan terus-menerus telah menyalakan bara semangat di hati para pendidik. Dalam refleksinya, penulis berkata, “Perubahan tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari usaha kecil yang terus-menerus. Sebagai pemimpin, penulis percaya bahwa kita harus mulai dari diri sendiri, memberi contoh, dan membuka ruang bagi rekan-rekan guru untuk tumbuh bersama.” Penulis berharap suatu hari nanti, semua GTK memiliki kesadaran untuk terus berkembang. Bahwa sekolah bukan hanya tempat siswa belajar, tetapi juga ruang tumbuh bagi para guru. Penulis membayangkan KOMBEL akan menjadi motor penggerak inovasi di tingkat satuan pendidikan, yang secara konsisten menginspirasi perubahan.

Cerita dari SMP Negeri 4 Kedungbanteng adalah bukti bahwa jumlah bukanlah hambatan untuk berkembang. Bahkan dengan tim yang kecil, perubahan tetap mungkin terjadi jika dikelola dengan cara yang tepat. Kunci utamanya adalah kepemimpinan yang visioner, kolaborasi yang konsisten, dan komitmen bersama untuk keluar dari zona nyaman. Dalam keterbatasan, justru muncul kreativitas. Dalam keterbatasan pula, kolaborasi menjadi lebih terasa maknanya.

Kepada para kepala sekolah lainnya, pesan yang ingin disampaikan sederhana: jangan takut memulai langkah kecil. Bangun budaya pengembangan diri di lingkungan sekolah, berdayakan guru lewat kolaborasi, dan jadilah teladan dalam proses perubahan. Karena pendidikan sejatinya bukan hanya soal mengajar, tetapi soal menumbuhkan dan menyalakan kembali semangat belajar yang mungkin sempat padam.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *